top of page
Search

Aku istrimu, BUKAN alat pemuas nafsumu!

womenforindonesia

Seperti yang kita ketahui, ketika seseorang memutuskan untuk menikah itu berarti dia mendedikasikan diri sepenuh nya kepada pasangan. Namun apa jadinya, jika terjadi kekerasan seksual katakan saja pemerkosaan di dalam rumah tangga dan dalam ikatan yang sah, apakah mungkin terjadi? Ya tentu, masih banyak orang beranggapan bahwa, istri wajib memberikan hak kepada suami dan memenuhi kewajiban sebagai istri apapun kondisinya. Apakah kewajiban untuk memberikan kepuasaan "batin" hanya harus dilakukan istri ke suami, lantas istri tidak layak menerimanya? Seolah budaya ini menempatkan wanita pada posisi sebagai "alat pemuas nafsu" belaka. Bagaimana dengan kepuasaan istri? Apakah istri tidak berhak menerima kepuasaan dan menolak melakukan hubungan suami-istri ketika istri sedang "tidak menginginkannya"?

pic source : Liputan6.com

Apakah kewajiban untuk memberikan kepuasaan "batin" hanya harus dilakukan istri ke suami, lantas istri tidak layak menerimanya? Seolah budaya ini menempatkan wanita pada posisi sebagai "alat pemuas nafsu" belaka. Bagaimana dengan kepuasaan istri? Apakah istri tidak berhak menerima kepuasaan dan menolak melakukan hubungan suami-istri ketika istri sedang "tidak menginginkannya"?

Perkosaan dalam perkawinan bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Memaksa berhubungan seksual tanpa persetujuan salah satu pihak termasuk ke dalam KDRT. Sayangnya, sama seperti KDRT yang lain, perkosaan dalam perkawinan sering kali tidak dilaporkan.selain memberikan trauma fisik dan emosional pada korban, perkosaan dalam perkawinan juga membuat tingginya angka kehamilan yang tidak diinginan, aborsi, dan jenis KDRT lain. Penyebab terjadinya pemerkosaan dalam pernikahan, biasanya karena ketidaktahuan bahwa pemaksaan hubungan intim dalam pernikahan termasuk dala kategori pemerkosaan. Tety Sueri, direktur Women Crisi Center Cahaya Perempuan di Bengkulu mengatakan, “Banyak perempuan yang mengalami pemaksaan hubungan seksual dengan suami, tidak tahu bahwa mereka telah menjadi korban perkosaan dalam perkawinan.” Pemahaman yang ada di masyarakat saat ini, kebutuhan seksual suami adalah kewajiban istri. Jadi, istri tidak bisa menolak jika suami ingin dilayani, apapun alasannya. Hal ini mengakibatkan banyak perempuan tidak tahu bahwa dirinya menjadi korban pemerkosaan dalam pernikahan. “Pemerkosaan dalam perkawinan muncul akibat relasi seksual suami-istri yang timpang. Pemahaman bahwa hubungan seksual adalah kewajiban istri atau hak suami semata, bukan kewajiban sekaligus hak keduanya. Akibatnya suami dianggap boleh memaksa untuk mendapatkan haknya,” papar Nur Rofiah, Dosen Pascasarjana Ilmu Qur’an di Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an, seperti dikutip The Conversation. [1].


Menurut Jhonson dan Sacco,kekerasan terhadap perempuan (seksual) yang dilakukan oleh suami atau pasangan intimnya (intimate partner violence ) dikenal dengan istilah kekerasan terhadap istri (wife abuse). Kasus pemerkosaan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di luar perkawinan, di dalam perkawinan pun juga kerap terjadi. Terutama pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Salah satu bentuk perihal kekerasan dalam rumah tangga yang paling rawan terjadi yaitu kekerasan seksual terhadap istri atau yang lebih dikenal dengan istilah Marital Rape.[2]. Sudah seharusnya dalam kegiatan seperti ini, haruslah keinginan kedua belah pihak. Bukan hanya salah satu pihak dan ujungnya malah memaksa agar tetap dilayani tanpa melihat kondisi dan situasi. Kadang kaum pria lupa bahwa memaksa sang istri untuk berhubungan seks adalah salah satu kekerasan seksual. Namun secara sadar mereka tetap memaksakan hawa nafsu mereka yang berujung melukai jiwa dan batin sang istri.


Fenomena perkosaan dalam perkawinan (marital rape) tidak dapat dipandang sebelah mata , mengingat bahwa dampak dari perbuatan tersebut sangatlah luas, bukan sebatas istri yang menjadi korban, namun juga bagi anak dan sanak keluarga lainnya dalam keluarga tersebut. Sejatinya perkawinan memang menyebabkan seorang laki-laki dan perempuan mempunyai ikatan yang amat erat, menimbulkan hak dan kewajiban baru bagi status baru. Perampasan hak sering terjadi dalam perkawinan, perkosaan dalam perkawinan (marital rape) itu sendiri contohnya.[3]. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUP KDRT) membahas mengenai pengaturan kekerasan dalam rumah tangga adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhahap orang yang tinggal dalam lingkup rumah tangga tersebut “pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga” dan sudah ada pengaturan pemidanaannya. Namun pengaturan pasal ini sangat luas sekali karena pasal tersebut tidak mengklasifikasikan korbannya anak, istri-suami, atau pembantu rumah tangga. Hanya tujuanlah sebagai pembeda klasifikasi sebuah perbuatan tersebut. [4].


Sangat menyakitkan membayangkan jika perempuan mengalami kekerasan yang berasal dari dalam rumah yang di sebabkan oleh seorang suami yang dibutakan oleh hawa nafsu. Sebagai perempuan, kita memiliki hak untuk menolak karena satu dan beberapa hal lain nya. Tetap sampaikan ketidak inginan itu dengan cara yang sopan di hadapan suami. Karena ada waktunya, ketika mungkin kita tidak bisa melayani mereka dan mereka sedang dikuasi oleh hawa nafsu. Kesadaran akan hal ini perlu dipahami oleh para suami. Suami harus benar-benar sadar bahwa kewajiban "batin" adalah kewajiban kedua belah pihak dan kepuasaan "batin" adalah hak kedua pasangan.

 




@waaant.y @siregarmutiara
6 views0 comments

Recent Posts

See All

Kommentare


bottom of page