top of page
Search
  • womenforindonesia

Sosialisme Menggandeng Perempuan Menuju Emansipasi


Oleh: Aya Canina




Judul Buku : Mengapa Perempuan Bercinta

Lebih Baik di Bawah Sosialisme

Judul Asli : Why Women Have Better Sex

Under Socialism; and Other

Arguments for Economic

Independence

Penulis : Kristen R. Ghodsee

Penerjemah : Cep Subhan KM

Penerbit : Jalan Baru Publisher

Tahun : 2020



Sebuah memori sebelum World Trade Center runtuh pada 2001. Ken, seorang laki-laki mapan mengatakan kepada Ghodsee, “aku tak pernah ingin berkencan dengan

perempuan profesional. Mereka terlalu banyak bepergian dalam kehidupan mereka dan tidak bisa ada untukmu ketika kamu ingin mereka ada.” Jadi Ken menginginkan seorang teman kencan yang tidak akan berbicara soal pengalamannya sebagai general manager atau perihal kasuskasus yang pernah ia tangani sebagai seorang pengacara sukses. Yang diinginkan Ken adalah gadisnya mendengarkan histori tangga pencapaian karirnya di perusahaan para milyuner Amerika.

Tetapi ketika ia mendapati dirinya telah bercerai dari seorang istri yang pergi untuk laki-laki lain dengan membawa sebagian harta dan tuntutan pembayaran tunjangan perceraian yang masif, Ken membelokkan citarasanya terhadap perempuan. Di akhir perbincangan—dan nampaknya ini sangat diingat oleh Ghodsee sebelum Ken ada dalam daftar nama orang-orang yang tewas di World Trade Center—Ken mengatakan dengan sungguh, “mudah untuk mendapatkan perempuan muda yang seksi jika kamu menginginkannya. Akan tetapi lebih sukar untuk memperoleh perempuan yang seksi sekaligus cerdas yang mampu menghasilkan uang sendiri. Dan jika dia menghasilkan uangnya sendiri, kamu tahu dia bersamamu bukan karena uangmu. Bagi Ghodsee—dan saya kemudian—Ken telah melompat, minimal dalam proses berpikirnya, dari aturan Kapitalisme menuju gagasan ideal Sosialisme.


Pertemuan Ken dan Ghodsee di atas adalah satu dari beberapa ilustrasi yang dinarasikan Ghodsee pada setiap permulaan bab. Ilustrasi semacam itu dibuat sebagai pintu masuk yang ramah bagi pembaca yang mengantuk atau bagi mereka yang membaca buku ini tidak untuk tujuan yang lebih praktis seperti menjadi demonstran yang “berisi” dengan rajin membaca bukubuku emansipasi. Ilustrasi-ilustrasi tersebut—semuanya adalah ornamen-ornamen percakapan Ghodsee dengan lingkungan sosialnya—membawa pembaca menuju data, argumen, dan solusi yang ditawarkan Ghodsee dalam upayanya memerangi apa yang ia sebut dalam judul pengantarnya yang lugas: “Anda Mungkin Menderita Karena Kapitalisme”.


Gambaran Umum Isi Buku


“Sosialisme, jika dilakukan dengan benar, mengarah pada kemandirian ekonomi, kondisi kerja yang lebih baik, keseimbangan kerja/keluarga yang lebih baik dan, ya, seks yang lebih baik.”

Apakah satu kalimat yang diletakkan di belakang buku bersampul pink fanta ini

menggambarkan apa yang Ghodsee sampaikan dalam188 halaman dengan 6 bab dan 9 mini biografi tokoh-tokoh sosialisme? Ya, setidaknya ada 5 kata kunci di sana:


1. “Sosialisme, jika dilakukan dengan benar” menunjukkan kehati-hatian Ghodsee dalam

menyajikan sosialisme sebagai menu utama emansipasi perempuan. Dalam catatan

pengarang, Ghodsee memperingatkan pembaca untuk teliti pada dua istilah yang ia pakai

sepanjang buku, yakni sosialisme negara (state socialism) dan sosialisme demokratis

(democratic socialism). Maksudnya adalah bahwa yang pertama merujuk pada negaranegara Eropa Timur dan Uni Soviet yang didominasi partai-partai komunis di mana

kebebasan politik dibatasi, sementara yang kedua merujuk pada negara-negara yang di

dalamnya prinsip-prinsip sosialis diperjuangkan (inilah kondisi ideal untuk kesejahteraan

hidup perempuan menurut Ghodsee).


2. “…mengarah pada kemandirian ekonomi” adalah argumen yang coba dibangun Ghodsee

pada bab pertama bertajuk “Perempuan—Seperti Pria, tetapi Lebih Murah: Tentang

Kerja.” Padat dan berisi dengan 18 catatan kaki, Ghodsee menyebut dengan lantang,

“…bahwa di mana rezim-rezim pemerintahan sosialis mengurangi ketergantungan

ekonomi perempuan pada laki-laki dengan menjadikan laki-laki dan perempuan sama-sama tergantung pada negara.” Artinya, sebagai tandingan kapitalisme, sosialisme

menghapus perbudakan laki-laki atas perempuan dengan menjadikan kedua gender ini

setara dalam hal sama-sama tergantung pada ketentuan negara.


3. Ini berkaitan dengan poin ketiga dan keempat, “…kondisi kerja yang lebih baik,

keseimbangan kerja/keluarga yang lebih baik”. Jika saya boleh membuat sebuah

kerangka pemikiran paling sederhana dari permasalahan inti masyarakat kapitalisme yang

digugat Ghodsee, maka modelnya akan seperti ini:




4. “…dan, ya, seks yang lebih baik.” adalah yang paling menarik minat saya untuk tekun

menyelesaikan buku ini. Ghodsee memberi pembaca hidangan dua kontradiksi konsep

seksualitas yang dibawa sistem kapitalisme dan sosialisme, yakni teori ekonomi seksual

yang digagas oleh Roy Baumeister & Kathleen Vohs pada 2004 vs gagasan seksualitas

sosialisme yang coba dikobarkan Alexandra Kollontai pada 1920-an di Rusia. Pada

intinya, sosialisme menjelaskan seks sebagai satu atribut cinta, roman, dan gairah. Ia

adalah pusat dalam narasi pengalaman seksual, bukan sebuah transaksi seksual seperti yang dilanggengkan kapitalisme; bahwa perempuan menjual seksualitasnya kepada laki-laki yang mau membelinya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan perempuan

tersebut.


Bagi saya, penerjemahan karya terbaru Kristen R. Ghodsee ini menjadi penting bagi

para pembelajar feminisme pemula yang sedang bergairah mempelajari seluk beluk

feminisme tidak hanya berdasarkan pada infografis dan narasi pengalaman empiris para

perempuan korban patriarki yang semakin gamblang dipaparkan di media sosial. Bahwa laporan dan fakta-fakta ini penting adanya, tapi juga mestinya mampu menjadikan siapa saja penasaran dan mau mencari tahu apa-yang-salah-dan-nampak-tidak-punya-jalan-keluar di abad 21 ini.


Bayangkan tiga tahun lalu ketika buku ini pertama kali terbit dengan bahasa aslinya.

Sementara kita sedang menunggu jam tayang sinetron televisi nasional bernuansa misoginis

patriarkis, Ghodsee kegirangan karena upaya panjangnya menelanjangi kapitalisme—yang selalu hampir pasti bergandengan tangan bersama patriarki—dengan cerdas sekaligus seksi.


Perlu diingat, Ghodsee bukannya buta akan otoriterianisme sosialisme (khususnya ketika orang-orang menyebutnya sebagai Stalinisme). Dalam sebuah paragraf ia mengatakan, “sekali lagi, intinya bukan untuk mengglorifikasi atau menyarankan bahwa kita mesti kembali ke masa silam sosialisme negara. Sebaliknya, kita bisa memahami lebih baik tentang bagaimana kapitalisme memengaruhi pengalaman-pengalaman kita yang paling intim…”.

17 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page