top of page
Search
  • womenforindonesia

Membuka Kunci Ruang Aman Perempuan

Oleh: Diva Oktaviana



Dunia maya sudah bukan lagi istilah yang asing dalam telinga kita. Rutinitas sehari-hari kita kini terhubung dengan sangat mudah dengan dunia maya. Media sosial menjadi salah satu dunia yang mampu memperpendek jarak antarsatuan kilometer maupun jarak antarwilayah secara fisik. Instagram sebagai platform media sosial yang masih digemari masyarakat hingga kini berhasil memunculkan beragam fenomena sosial, salah satunya fenomena pengguna second account. Diawali dengan kemunculan platform berbasis unggahan visual pada tahun 2010, Instagram dapat menjadi media yang menghubungkan orang tanpa adanya pertemuan fisik. Sebagai platform yang menjembatani perilaku tanpa pertemuan fisik antar pengguna, Instagram juga menunjukkan adanya tindakan-tindakan sosial yang dipresentasikan secara simbolik melalui aktivitas scrolling, comment, dan like.


Sebagai ruang baru untuk membentuk relasi sosial, Instagram mewujudkan keinginan masyarakat untuk terus terhubung satu sama lain dengan menjadi ‘nyata’. Sebagai platform yang mengandalkan unggahan visual, masyarakat atau para pengguna akun mengasumsikan segala hal yang diunggah oleh pemilik akun sebagai hal nyata atau menjadi representasi dari kehidupan pemilik akun (Dewar et al. 2019:5). Oleh karena itu, akun utama atau first account menjadi akun yang dibangun dan diatur sedemikian rupa untuk dapat terlihat sempurna sesuai norma yang berlaku pada publik atau society. Akun utama menjadi wadah untuk melakukan promosi diri maupun kehidupan pemilik akun kepada pengguna lainnya.


Sedangkan akun kedua atau second account sengaja dibuat untuk kepentingan komunikasi yang lebih intim kepada orang-orang tertentu sesuai dengan kriteria pemilik akun. Selain itu, second account juga dimanfaatkan sebagai media yang menunjukkan imperfection atau sisi lain dari pemilik akun yang dirasa kurang sempurna maupun kurang sesuai dengan standar yang ada dalam masyarakat dunia maya. Adanya relasi yang dibangun antar followers dengan pemilik akun baik secara luring (offline) maupun secara daring (online) akan turut memengaruhi kepercayaan pemilik akun. Semakin tinggi kepercayaan pemilik akun kepada para ‘pengikutnya’ maka ruang aman dalam akun tersebut semakin terbangun (Serafinelli, 2017). Pemilik akun akan merasa aman untuk membagikan cerita, keluh kesah, foto, video, maupun konten-konten lainnya kepada para pengikutnya.


Di lain sisi, hal ini menjadi pertanda bahwasanya perempuan seringkali tidak merasa aman dalam menggunakan media sosial. Perasaan tidak aman membuat perempuan tidak dapat leluasa dalam bertindak dan bahkan tidak mampu untuk menunjukkan siapa dirinya sendiri secara utuh dalam media sosialnya. Identitas online yang dibangun menjadi identitas yang mencoba diolah dan diatur sedemikian rupa agar dapat memuaskan standar masyarakat. Perasaan tidak aman yang muncul pada para pengguna second account disebabkan oleh beberapa hal, Mulai dari masalah tubuh hingga pelecehan seksual.


Menurut Aprilita (2016:2), media seakan menyamaratakan selera yang ada dalam masyarakat mengenai konsep kecantikan yang akhirnya dapat menjadikan perempuan sebagai objek yang terkungkung dalam konstruksi kecantikan yang dibangun masyarakat. Sehingga, tidak mengherankan apabila kemudian muncul insecurity atau rasa tidak percaya diri pada perempuan untuk mengunggah atau menampilkan tubuhnya dalam sosial media. Salah satu fenomena yang mengikuti konsep ini adalah body shaming yang masih terjadi hingga kini. Keinginan untuk menunjukkan sisi sempurna dalam membangun identitas online seketika runtuh hanya dalam hitungan detik karena adanya komentar miring terhadap tubuhnya. Perilaku body shaming yang dinormalisasi akan mengakar dan menjadi hal yang wajar dalam kehidupan bermedia sosial.


Selain body shaming, Instagram pun tidak luput dari tindakan KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) dan pelecehan-pelecehan seksual. Salah satu kasus pelecehan seksual dialami oleh akun Instagram @ncdpapl yang merupakan akun milik Vlaminora. Ia sempat beberapa kali mengalami pelecehan seksual di Instagram baik melalui komentar post ataupun melalui DM (Direct Message). Anehnya, komentar-komentar yang bernada melecehkan dalam postingan Nora justru kerapkali mendapatkan jumlah like yang banyak. Penulis juga menjadi salah satu korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu ‘pengikutnya’ di Instagram. Pelecehan seksual dilakukan melalui DM dengan maksud mengomentari instastory yang diunggah oleh penulis. Namun, komentar yang diberikan berupa komentar yang bernada melecehkan seperti “Tubuhnya indah, montok sekarang, enak”, serta komentar-komentar lain yang masuk dalam kategori rape culture. Pelecehan seksual ataupun KBGO dapat terjadi di mana saja dan dialami oleh siapa saja. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna Instagram terhadap ruang sosial yang dibangun di dalamnya.


Normalisasi tindak pelecehan seksual dan KBGO di media sosial Instagram akan menjadikan perempuan menjadi tidak leluasa dalam memanfaatkan ruang-ruang tersebut dan justru merasa selalu diawasi. Keterbatasan tersebut membuat perempuan selalu merasa bersalah, takut, dan was-was apabila tidak berlaku sesuai dengan standar masyarakat atau bahkan konstruksi yang turut dibangun oleh media. Fenomena-fenomena ini sebenarnya menjadi refleksi dari fungsi panopticon yang merupakan buah pandangan dari Jeremy Bentham dan juga disepakati oleh Michel Foucault. Konsep panocpticon terinspirasi dari bangunan penjara Pentonville yang didesain dengan memposisikan pengawas di bagian tengah/pusat. Bangunan ini telah diatur cahaya yang geometris dan terukur dengan sinar yang masuk (teknik sinar balik) sampai bangunan pusat. Melalui bayangan tersebut, pengawasan dapat dilakukan, sehingga individu tidak dapat melihat bahwa dirinya sedang diawasi (Hardiyanta, 1997). Dengan demikian, individu akan merasa terus di awasi tanpa benar-benar tahu siapa yang mengawasinya. Efek ini menimbulkan kepatuhan kepada individu.


Fungsi panopticon dapat ditemukan dalam penggunaan Instagram yang menjadikan pengguna selalu merasa diawasi dan menyebabkan pengguna tidak leluasa dalam bertindak. Apabila pengguna diluar pemilik akun merupakan orang-orang yang memiliki kesadaran akan pentingnya mencegah pelecehan seksual dan KBGO di Instagram maupun media sosial lain, maka akun-akun tersebut akan dapat berfungsi sebagai pengawas untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan. Tumbuh dan berkembangnya kesadaran pengguna Instagram terhadap pelecehan seksual dapat membuat para pelaku pelecehan seksual merasa was-was dan merasa dibawah pengawasan. Dengan demikian, maka pemaksaan terhadap fisik secara langsung tidak lagi dibutuhkan. Panoptikon menjadi sebuah laboratorium pengamatan atas perilaku pengguna Instagram. Dengan model pengawasan yang demikian maka individu atau pelaku pelecehan seksual akan dilatih, dihukum dan dipantau perubahan perilakunya. Sekarang tidak jarang kita temukan unggahan mengenai pelaku pelecehan seksual yang sengaja di unggah di media sosial tertentu, tidak terkecuali Instagram. Hal ini menjadi salah satu fungsi penghukuman bagi pelaku pelecehan seksual karena dalam unggahan tersebut pelaku akan dipantau, diawasi, atau bahkan dihukum melalui komentar yang dilontarkan oleh pengguna lainnya.


Usaha-usaha penghukuman panoptikon dapat mempermudah sistem kontrol serta mereduksi perlawanan dan kekuasaan sosial dari pengguna Instagram. Panoptikon Instagram juga berkaitan dengan fenomena spectatorial sisterhood atau relasi spektatorial antara persaudaraan perempuan. Menurut Rugun (2021:45), relasi yang terbangun antara pengguna Instagram dapat bersifat intim dan memunculkan adanya fictive kinship. Fictive kinship merupakan sebuah ikatan kekerabatan semu yang terbangun bukan berdasarkan hubungan darah maupun perkawinan (Voorpostel, 2013). Sehingga upaya saling mendukung dan menguatkan antarperempuan seperti dalam akun-akun @lawanpatriarki maupun akun lainnya menjadikan adanya hubungan yang terbangun antar perempuan dengan perempuan lain semakin menguat. Secara tidak langsung, sisterhood yang dimaksud bukan merupakan relasi darah namun lebih pada penekanan co-presence, yaitu sosok saudara perempuan yang saling mendukung dan mendengarkan keluh kesah, salah satunya dalam kasus pelecehan seksual. Kepercayaan juga terbangun dalam ruang tersebut, sehingga para penyintas akan merasa lebih aman sementara para pelaku akan merasa selalu diawasi.


Oleh karena itu, penting kiranya kita bersama-sama saling menggenggam tangan untuk meningkatkan kesadaran pengguna Instagram terhadap KBGO dan pelecehan seksual yang masih terjadi di sekitar kita. Dengan kesadaran tersebut, kita dapat saling menguatkan dan membuka kunci ruang aman bagi perempuan dalam bermedia sosial salah satunya Instagram. Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa korban pelecehan seksual bukan hanya perempuan. Langkah untuk menghentikan normalisasi pelecehan seksual di Instagram harus dimulai dalam kehidupan sehari-hari kita bersama.




Kepustakaan :

Dewar, Sofia, Schinria Islam, Elizabeth Resor dan Niloufar Saleh. 2019. ‘Finsta: Creating “Fake” Spaces for Authentic Performance’, Conference: Extended Abstracts of the 2019 CHI Conference. DOI: 10.1145/3290607.3313033.

Serafinelli, Elisa 2017 ‘Analysis of Photo Sharing and Visual Social Relationships: Instagram as a Case Study’, Photographies, 10(1):91–111. DOI:10.1080/17540763.2016.1258657.

Aprilita, Dini dan Refti Handini Listyani. 2016. “Representasi Kecantikan Perempuan Dalam Media Sosial Instagram (Analisis semiotika Roland Barthes pada akun @mostbeautyindo, @bidadarisurga, dan @papuan_girl). Paradigma. Volume 04. Nomor 03.

Hardiyanta, Petrus Sunu. (1997). Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern. LKIS. Yogyakarta

Sirait, Amelia Rugun. (2021). Spectactorial Sisterhood: Relasi Sosial Pengguna Second Account di Instagram. Antropologi Indonesia. Volume 42. Nomor 01.

Voorpostel, M. (2013). Just Like Family: fictive kin relationship in the Netherlands. Journals of Gerontology, Series B: Psychological Sciences and Social Sciences.

45 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page