top of page
Search

Apa PELAKOR makhluk paling berdosa? Serasa harus dihukum melebihi KORUPTOR?

womenforindonesia

Istilah pelakor atau perebut laki orang akhir-akhir ini sedang hangat sekali di perbincangkan oleh banyak orang di media massa. Dan yang saat ini viral banyaknya netizen Indonesia memberi komentar negatif terhadap artis drama Korea “The World of Married” Han So Hee. Netizen wanita Indonesia mungkin geram dengan pelakor sampai memberi komentar negatif tentang akting artis tersebut yang seharusnya tidak perlu dilakukan karena itu hanyalah sebuah akting.

pic source : SHARON766HI


Kehadiran perempuan lain dalam sebuah rumah tangga memang tidak pernah diinginkan oleh istri manapun. Padahal sejatinya pelakor sudah ada sejak zaman dahulu dan tidak akan bisa hilang hingga kapanpun. Sejauh yang terekspos di media sosial, selingkuh seakan-akan hanya salah pihak perempuan karena kegenitan menggoda suami orang.[1]

Peneliti bidang kajian gender Sabilla Tri Ananda mengatakan melabeli perempuan dengan sebutan “pelakor” termasuk dalam bentuk kekerasan verbal dan misogini. Misogini adalah rasa benci atau tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan.[2]. Perebut berarti pelaku yang aktif melakukan tindakan merebut. Sementara dalam perselingkuhan, selalu melibatkan dua pihak. Tak memandang gender kedua belah pihak sama-sama melakukan kesalahan bukan hanya wanita saja yang disudutkan.

Peneliti bidang kajian gender Sabilla Tri Ananda mengatakan melabeli perempuan dengan sebutan “pelakor” termasuk dalam bentuk kekerasan verbal dan misogini. Misogini adalah rasa benci atau tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan.[2]. Perebut berarti pelaku yang aktif melakukan tindakan merebut. Sementara dalam perselingkuhan, selalu melibatkan dua pihak. Masyarakat menganggap perselingkuhan akan menjadi sangat wajar jika dilakukan oleh laki-laki, sementara perempuan yang menjadi subjek maupun objek perselingkuhan selalu dicap negatif dan dipandang hina. Perempuan yang berselingkuh sering kali diasosiasikan sebagai perempuan hina, tidak suci, tidak bermoral, bahkan menjijikkan di mata publik sehingga layak mendapat hukuman berat. Mengapa demikian?. Masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai patriarki, menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Konsepsi ini didasari oleh pemahaman agama yang kemudian menjadi dasar utama, ada anggapan bahwa seorang suami memiliki derajat yang lebih tinggi dari seorang istri. Tapi dalam pemaknaannya terjadi salah kaprah karena terdapat hubungan yang timpang antara derajat dan kemuliaan. Sedangkan istri lebih diasosiasikan sebagai pelayan yang harus menjaga kesucian dirinya dan patuh pada suami. Karenanya seorang istri yang berselingkuh sering diasosiasikan sebagai wanita yang tidak terhormat dan tidak suci, bahkan ‘menjijikkan’. Sedangkan suami yang selingkuh lebih sering dipersepsikan sebagai ‘kewajaran’ dari perilaku yang menyimpang (khilaf). Oleh karena itu pula hukuman sosial yang berlaku pada perempuan lebih berat ketimbang hukuman sosial kepada laki-laki. Suami yang berselingkuh pun lebih sering dan lebih mudah dimaafkan ketimbang istri yang berselingkuh. Sehingga kecenderungan perceraian juga lebih tinggi menimpa istri yang selingkuh daripada suami. [3].


Jika wanita mendapatkan pelabelan PELAKOR (Perebut Laki Orang) maka perlukah lelaki mendapat pelabelan PEBINOR (Perebut Bini Orang)?


Pertanyaan apakah diperlukan pelabelan untuk sang lelaki? Dalam tulisan lain, mengusulkan penggunaan letise untuk lelaki tidak setia, semata-mata agar ada perimbangan jika memang pelakor ingin tetap digunakan. Makna tersirat, dalam pandangan ini, seharusnya tidak ada lagi pelabelan baik untuk perempuan dan laki-laki apalagi dalam media yang terakses secara luas oleh publik, termasuk media sosial. Kemunculan pelabelan ini, melambangkan betapa sebagian dari kita gemar sekali memberikan label bagi orang lain, yang juga (mungkin) menggambarkan kekerapan melakukan “peradilan di luar ranah (pribadi) kita.” Setidaknya hal itu tercermin dari pelabelan-pelabelan bias gender yang banyak kita lihat di berbagai media sosial belakangan ini. Dengan kata lain, tidak disarankan adanya kemunculan-kemunculan pelabelan lain. Juga, media seharusnya bisa lebih bertanggung jawab untuk tidak mempopulerkan dan menghentikan pelabelan seksis yang sangat judgemental ini. (ade)

Terlebih lagi konsepsi pemahaman ini tidaklah menyelesaikan masalah karena akar permasalahan dari tindakan asusila tersebut bisa saja berakar dari rendahnya fundamen moral pada masing-masing individu yang terlibat.


Pada intinya, baik pelakor atau pun pebinor (perebut bini orang), sama-sama memiliki derajat moralitas yang rendah. Media juga bertanggung jawab untuk menciptakan dunia yang lebih adil bagi perempuan dan laki-laki. Maka media mesti berada di baris terdepan untuk mulai menggunakan kata dan kalimat yang lebih adil, sebab bahasa menunjukkan cara berpikir, dan bahasa yang digunakan media berpeluang untuk membentuk cara pikir pembacanya. Media yang mesti mulai menampilkan pemberitaan yang lebih adil dan berhenti menggunakan kata-kata yang mengandung stigma dan diskriminasi terhadap perempuan. (ade). [4].

 




@lidianatasyaa @yunda.annisa @milkaginting


33 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page