Apakah benar masak itu hanya tugas perempuan? nyuci baju juga apalagi ngurus anak mutlak tugas wanita itu mah!

pic source : yayasanpulih.org
"Peran domestik itu mulai terjadi saat terbentuknya keluarga, ada pembagian peran antara ruang domestik dan publik”, tutur Syaldi Sahude.
Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan tentunya memiliki kemampuan yang berbeda-beda.kemampuan inilah yang akhitnya sering disalah artikan oleh masyarakat yang masih sangat bersahabat dengan budaya patriarki. Mereka menganggap bahwa perempuan haruslah menjadi pihak terdepan yang memiliki kemampuan dasar untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Perempuan lah yang selalu di paksa untuk terus menjadi pihak yang disalahkan apabila tidak mampu mengerjaka tugas tersebut yang akhirnya kaum laki-laki lah yang harus turun tangan. Mereka juga memilki paham bahwa, “perempuan harus bisa ini dan itu,” “perempuan perempuan seharusnya begini dan begitu,” dan masih banyak lagi tuntutan-tuntutan yang selalu dilayangkan kepada perempuan. Hei! Kami manusia biasa yang memiliki kekurangan. Cape deh. Serta akhirnya banyak lelucon yang berbau seksis pun merajalela. “Peran domestik itu mulai terjadi saat terbentuknya keluarga, ada pembagian peran antara ruang domestik dan publik”, tutur Syaldi Sahude dalam acara Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan pada Kamis (20/07/17). Syaldi menjelaskan bahwa meskipun pembagian peran domestik sangat terlihat pada level keluarga, namun menurutnya peran domestik memiliki sejarah yang panjang dan hampir berada di semua level masyarakat bukan hanya pada level keluarga. [1]
Menurut Koalisi Perempuan, Pekerjaan domestik adalah pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang dilihat sebagai pekerjaan perempuan, dan tidak bernilai ekonomi dan sosial. Dalam konsep pembangunan yang menggunakan perspektif kemitraan gender, kerja domestik seyogyanya menjadi tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan, dan secara ekonomi dan sosial sangat bernilai seperti halnya jenis-jenis kerja yang lainnya. [2]. Seperti yang biasa kita lakukan, pekerjaan domestik mencakup kegiatan seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci, dst. Tentunya itu semua sangat berhubungan dengan kemampuan dasar untuk bertahan hidup. Jika lapar, lebih sehat dan hemat bila kita memasak sendiri di rumah dan seharusnya tidak menjadi masalah bila laki-laki yang ahli dalam bidang ini namun tidak menutup kemungkinan perempuan pun sama. Begitu pula dengan membersihkan rumah dan mencuci, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang masih di rata-rata mungkin akan sulit untuk sekedar menyewa asisten rumah tangga (ART) dan memutuskan mengerjakan itu semua oleh diri sendiri. Sudah sering terjadi di banyak kota besar di indonesia. Begitu juga ketika status sudah berubah menjadi menikah. Di dalam rumah kita tidak hanya tinggal sendirian lagi, namun ada suami dan anak. Nah mungkin saja bisa muncul sebuah konflik baru yaitu masalah rumah tangga. Seperti, perempuan yang sudah tidak diperbolehkan berkarir lagi setelah menikah, lebih baik tinggal di rumah dan melayani suami serta anak. Perempuan harus bisa masak. Karena jika tidak, suami akan jajan sembarangan di luar yang berakibat akan di nyinyirin oleh mertua. Perempuan lah yang harus sepenuhnya turun tangan dalam hal membersihkan rumah, memasak, menyuci, mengurus anak, mempersiapkan kebutuhan mereka dan masih banyak lagi tuga seorang Ibu Rumah Tangga. Akan sangat serba salah jika perempuan yang mandiri, multitalented bisa mengerjakan beberapa pekerjaan laki-laki sendirian. Bahkan ada juga yang tidak memerlukan pendamping hidup. Lalu datang lah orang-orang yang akan mengatakan kata-kata yang tidak pantas untuk didengar, mereka juga beranggapan bahwa perempuan yang terlalu mandiri dan indepent akan sangat mendominasi kegiatan si laki-laki, padahal kenyataan nya di lapangan tidak seperti itu. Sogi Indra Duaja, seorang penyiar Radio, menggunakan pendekatan fleksibel dalam berumah tangga dengan istrinya. Dimana bagi mereka tidak ada pemilahan khusus siapa melakukan apa, tetapi apa yang bisa dilakukan, itu yang dikerjakan. “Saya lebih suka jika ini disebut sebagai hubungan yang fleksibel. Dalam arti, apa yang bisa saya kerjakan ya saya kerjakan, begitu juga dengan istri, tanpa harus bersinggungan dengan peran gender”.[3]. Karena sudah seharusnya di dalam kehidupan bersosial, kita dianjurkan untuk bekerja sama yang apabila dilakukan bersama-sama pekerjaan seberat apapun akan terasa ringan dan seringan apapun pekerjaan tersebut jika dikerjakan bersama-sama akan terasa lebih menyenangkan. Begitu pula dengan kemampuan dasar di dalam hidup ini yang seharusnya bisa dilakukan oleh laki-laki, jangan hanya memberatkan salah satu pihak saja yaitu perempuan.
Berhenti mengolok-olokkan perempuan yang tidak bisa memasak, mencuci, ataupun kemampuan dasar lainnya yang diperlukan untuk keberlangsungan hidup mereka. Berhenti memuja-muja laki-laki yang hebat dalam memasak, karena itu adalah sebuah kemmapuan dasar yang harus mereka lakukan untuk melanjutkan hidup agar tidak kelaparan. Karena kami perempuan dilahirkan bukan untuk memenuhi keinginan serta kepuasan kalian semata. Lagi, lagi dan lagi, untuk pekerjan domestik atau pekerjaan apapun sesungguhnya tidak mengenal gender, tidak membatasi gender manapun ntuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif. Karena kenyataan nya, setiap gender memiliki kemampuan nyamasing-masing, biarkan lah mereka memilih mana yang terbaik dan sesuai untuk mereka, serta jangan pernah untuk membatasinya mereka.
[3] Femina: Kisah Tiga Pria, Adil Berbagi Peran Domestik dengan Pasangan, 2018
@RedaksiWomenForIndonesia
Comments