Sejak diberlakukan nya anjuran Kerja dari rumah, Belajar dari rumah, Ibadah dari rumah dan semua aktifitas yang bisa dilakukan dari rumah sangat di harapkan untuk dikerjakan dari rumah saja sejak pandemi Covid-19. Walau masih banyak masyarakat yang harus keluar rumah demi biaya hidup. Tentunya, banyak hal-hal positif maupun negatif yang terjadi selama Sistem Di Rumah Aja yang diberlakukan oleh pemerintah. Salah satunya yang selalu saja terjadi adalah pelecehan seksual secara langsung ataupun tidak langsung, di dunia maya ataupun di dunia nyata.

pic source : suara.com
Pendampingan hukum, keadilan hukum, bahkan kebijakan hukum harus diperkuat untuk menjamin adanya keamanan dan kenyamanan bagi perempuan, jika bukan dirumah perempuan menemukan kenyamanan maka dimana lagi tempat teraman?
Lagi dan lagi korban akibat pelecehan seksual tak lain dan tak bukan adalah perempuan dan bukan berarti laki-laki tidak bisa menjadi korban. Namun, kejahatan terhadap perempuan tak pernah sepi peminat nya. Hari ke hari jumlah korban kian meningkat. Hal yang juga sangat disayangkan adalah pelaku kebanyakan datang dari keluarga korban, akibat efek kebijakan dirumah saja menjadikan banyak anggota atau kerabat keluarga berdiam dirumah saja. Tetapi bukannya malah menjadi ajang silaturahmi dan mempererat tali kekeluargaan malahan beberapa diantaranya menjadikan kebijakan ini sebagai celah untuk melakukan tindakan bejat bahkan pada kerabat sendiri. Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta menerima 97 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan selama wabah virus corona (Covid-19) merebak. Paling banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laporan diterima dalam kurun waktu 16 Maret sampai 19 April 2020 atau tepatnya sejak pemerintah mengimbau masyarakat membatasi kegiatan di luar rumah dan selalu menjaga jarak. "Hal ini menjadi bukti bahwa rumah belum tentu menjadi tempat aman bagi perempuan, apalagi dalam masa pandemi Covid-19 ini. Perempuan menjadi lebih rentan bukan saja rentan tertular virus, tapi juga rentan menjadi korban kekerasan," kata Direktur LBH Apik Jakarta Siti. Mazumah melalui keterangan pers, Selasa (21/4). Dari 97 kasus yang dilaporkan, sebanyak 33 kasus adalah kekerasan dalamrumah tangga (KDRT).
Kemudian 30 kasus kekerasan gender berbasis online, 8 kasus pelecehan seksual, 7 kasus kekerasan dalam pacaran. Kemudian 6 kasus kekerasan terkait pidana umum, 3 kasus pemerkosaan, 3 kasus kekerasan berbasis gender, 2 kasus perdata keluarga, 2 kasus pinjaman online, dan masing-masing 1 kasus warisan, pemaksaan orientasi seksual serta permohonan informasi layanan. "Jumlah ini cukup besar dimana hanya dalam waktu satu bulan jumlah pengaduan meningkat drastis dibandingkan pengaduan langsung," ujar Siti. Pengaduan kasus KDRT memegang porsi paling tinggi selama corona.Masih sama dengan catatan tahunan 2019 yang dibuat LBH Apik Jakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah masih gagal dalam menjamin keamanan dan kenyamanan bagi kaum perempuan. Tak hanya didunia nyata bahkan didunia maya wanita juga kerap menjadi korban pelecehan yaitu kejahatan seksual berbasis siber. Bentuk kekerasan berbasis online yang ditemukan adalah pelecehan seksual secara online, ancaman penyebaran konten intim dengan motif eksploitasi seksual, hingga pemerasan.[1] Koalisi PEKAD (Peduli kelompok Rentan Korban Covid-19) menilai dengan meningkatnya peran perempuan dan kasus KDRT selama pandemi COVID-19 ini secara tidak langsung menempatkan perempuan pada “kondisi atau kejadian penuh tekanan dan traumatis.”. " Perempuan yang mengalami kekerasan itu kan sebenarnya merupakan korban dari sistem patriarki," ujar Yuniyanti, saat ditemui di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/3/2017).
Keadaan tersebut kemudian diperparah dengan adanya regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi kaum perempuan dan menyuburkan budaya patriarki. Yuniyanti mencontohkan, posisi perempuan secara jelas ditempatkan secara tidak setara dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 4 UU Perkawinan menyatakan seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat melahirkan keturunan. Namun, tidak ada pasal mengatur jika keadaan tersebut justru dialami oleh pihak suami. "Bagaimana kalau keadaannya dibalik, ternyata suami yang tidak bisa memberikan keturunan. apakah boleh istri meninggalkan suami. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi karena relasi perkawinan kan bukan hanya dimensi biologis," ujar dia. Berangkat dari fakta tersebut, Yuniyanti berpendapat bahwa dari sisi legislasi, banyak peraturan yang harus direvisi agar bisa menenpatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki. Pemerintah juga perlu berupaya.mengubah paradigma patriarki melalui institusi strategis, baik melalui lembaga agama, lembaga pendidikan, lembaga budaya, dan media massa.
Pelecehan seksual tidak semerta merta bisa menghilang begitu saja jika tidak ada daya upaya oleh seluruh lapisan dan elemen masyarkat bahkan pemerintah dalam berkomitmen untuk mengentaskannya secara tuntas . Oleh karena itu pemerintah diharapakan untuk bisa menciptakan kenyamanan untuk seluruh masyarakat tanpa memandang gender didalamnya. Pendampingan hukum, keadilan hukum, bahkan kebijakan hukum harus diperkuat untuk menjamin adanya keamanan dan kenyamanan bagi perempuan, jika bukan dirumah perempuan menemukan kenyamanan maka dimana lagi tempat teraman?
[1]LBH APIK Jakarta Catat KDRT Marak Terjadi saat Pandemi Corona, (21 April 2020). Retrieved May, 03 2020 from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200421114027-20-495587/lbh-apik-jakarta-catat-kdrt-marak-terjadi-saat-pandemi-corona
@waaant.y @siregarmutiara
Comments