Berbicara tentang budaya patriarki, bukanlah suatu fenomena baru.Sejak masa berburu dan meramu, praktik patriarki sudah secara tidak langsung terjadi. Dimasa itulah, kaum laki-laki bekerja di luar huniannya.Mereka berburu dan mencari makanan. Memasuki masa bercocok tanam, ada alternative pekerjaan baru yaitu menanam tumbuhan pangan. Sementara perempuan berkarya di zona yang lebih 'kalem'. Mereka akan merawat anak, memasak hasil buruan, atau mengumpulkan bahan makanan yang ada di sekitarnya seperti buaha-buahan [1].

pic source : sejuk.org
Disamping itu banyak orang menyalah artikan kata “Kodrat” yang dimana diartikan suatu pekerjaan atau kebiasaan. Padahal yang dimaksud dengan kodrat adalah sesuatu yang telah dibawa dari lahir yang diberikan Tuhan kepada kita, seperti wanita itu melahirkan, menstruasi, memiliki payudara dan fakta lainnya. Baik perempuan dan laki-laki memiliki peran penting untuk menolong satu sama lain.
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan property [2]. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Beberapa masyarakat patriarchal juga patrilineal, yang berarti bahwa property dan gelar diwariskan kepada keturunan laki-laki. Secara tersirat system ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki serta menempatkan posisi perempuan di bawahlaki-laki. Terkhusus di Indonesia, budaya ini masih dijunjung tinggi yang tak jarang oleh mereka yang mengatasnamakan adat atau agama. Budaya ini juga menyebabkan terjadinya kesenjangan gender yang berujung ketidakadilan. Lalu apakah budaya patriarki reda di saat pandemic covid melanda? Semenjak virus corona menyerang dunia, hampir semua pemimpin Negara memberlakukan beberapa kebijakan untuk meredam penyebaran covid-19. Salah satu diantaranya adalah anjuran untuk diam stay at home, self-quarantine, physical distancing, lockdown, dan beberapa istilah lainnya yang pada intinya memiliki tujuan yang sama yaitu menghindari kontak fisik dengan orang banyak. Kebijakan ini juga berlaku di Indonesia. Hal ini tentunya memberikan pengaruh yang sangat significant terhadap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Mereka yang beruntung dapat kembali ke kampung halaman atau mereka yang dapat berkumpul dengan keluarga jadi memiliki banyak quality time bersama-sama.Namun apakah hal ini berpengaruh terhadap peran anggota keluarga dalam suatu rumah tangga?
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa budaya patriarki telah berlangsung lama di Indonesia dan tanpa disadari bahwa budaya ini dianggap adil oleh masyarakat kita dan bahkan diterima dengan baik oleh sebagian besar masyarakat. Dengan kebijakan yang mengharuskan kita untuk berdiam diri di rumah sampai batas waktu yang tidak ditentukan membuat kita harus saling bekerja dalam menyelenggarakan rumah tangga, terutama dalam hal pekerjaan sehari-hari. Kebijakan stay at home harusnya menjadi ajang silaturahmi dan mempererat hubungan dengan keluarga pada nyatanya pada sebagian orang menjadi api neraka. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa perempuan atau istri adalah penanggungjawab untuk semua urusan domestik, hal ini menyebabkan wanita rentan terhadap stres karena tanpa disadari pandemi menyebabkan beban ganda yang dirasakan oleh perempuan kebanyakan seperti mengurus dan mendidik anak, mengurus suami, mengurus urusan rumah. Bukannya saling membantu, malahan pada praktiknya terjadi ajang penyalahgunaan makna “kodrat”. Tidak ada yang salah jika seorang suami membantu istrinya memasak, mencuci piring, membersihkan rumah, dan beberapa tugas ibu rumah tangga. Namun stigma negative masyarakat terhadap pria yang mengerjakan pekerjaan perempuan semakin menyuburkan budaya patriarki tersebut. Pandemi corona sekalipun tidak merubah mereka yang sangat-sangat menjujung tinggi budaya patriarki ini. Bahkan ketika pekerjaan rumah tidak selesai banyak penghakiman yang mengatakan “wanita sebagai istri yang tidak becus” dan hal ini memicu kekerasan dalam rumah tangga yang semakin meningkat ditengah pandemi ini, dibuktikan dengan catatan Komnas Perempuan yang menyatakan terjadinya peningkatan kasus KDRT dengan total kasus 5.784 disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus dan masih banyak mungkin kasus dilapangan yang belum dilaporkan, laporan ini di publish pada 8 Maret lalu dalam rangka memperingati International Woman’s Day. Masih banyak mereka yang berfikir bahwa bagaimanapun kondisinya, apakah seorang suami di rumah atau tidak, tugas istri tetaplah tugas istri dan begitu juga sebaliknya.Hanya perempuan yang mengerjakan pekerjaan rumah.Padahal sudah sepatutnya pria dan wanita bekerjasama selagi tidak melanggar kodrat mereka. Memasak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya bukanlah disebut kodrat. Itu hanyalah suatu kata kerja yang subjeknya tidak hanya wanita namun juga pria dalam konteks manusia.
Seharusnya, dengan menghabiskan waktu yang cukup lama bersama keluarga dapat menyadarkan mereka bahwa tugas wanita tidaklah mudah. Disamping itu banyak orang menyalah artikan kata “Kodrat” yang dimana diartikan suatu pekerjaan atau kebiasaan. Padahal yang dimaksud dengan kodrat adalah sesuatu yang telah dibawa dari lahir yang diberikan Tuhan kepada kita, seperti wanita itu melahirkan, menstruasi, memiliki payudara dan fakta lainnya. Baik perempuan dan laki-laki memiliki peran penting untuk menolong satu sama lain.
[1]https://www.idntimes.com/life/women/vita/alasan-budaya-patriarki-masih-ada-di-indonesia/5(Diaksespada 01 Mei 2020, 00:23)
[2] Bressler, Charles E. 2007. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice 4th-ed. Pearson Education, Inc.
@peasey9 @herekikiis @ihsaniafsah @adilafataya @jesicahtg
Comments