
Patriarki merupakan konstruksi sosial yang menempatkan pembagian peranan antara laki-laki dan perempuan seperti kotak-kotak yang terpisah yang menimbulkan adanya suatu relasi subordinat diantara keduanya dimana laki-laki ditempatkan pada posisi yang lebih superior dibandingkan perempuan. Keadaan ini cara tidak sadar dilakukan secara terus menerus dan menjadi suatu kebiasaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Bahkan sampai saat ini, budaya patriarki masih dilestarikan di berbagai daerah di Indonesia.
Pada budaya patriarki laki-laki digambarkan sebagai mahkluk yang rasional dan maskulin. Maskulinitas sendiri dikatakan sebagai cara untuk menjadi laki-laki. Maskulinitas ini dibedakan menjadi maskulinitas tradisional dan modern. Maskulinitas tradisonal, pada maskulinitas jenis ini nilai-nilai seperti kekuatan, kekuasaan, dan kesetiakawanan laki-laki dianggap sebagai sesuatu keharusan yang harus dimiliki oleh laki-laki. Sementara itu pada maskulinitas modern lelaki digambarkan sebagai sosok yang jauh bertolak belakang dari maskulinitas tradisional seperti laki-laki lebih ekprestif, bersedia ikut serta mengerjakan ranah domestik seperti pekerjaan rumah yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan perempuan.[1]
Namun rupanya meskipun saat ini telah terjadi globalisasi dan dikatakan sebagai era modern, nyatanya maskulinitas tradisional ini masih mengakar dan membudaya akibatnya lahirlah yang dikenal dengan toxic masculinity. Apa itu toxic masculinity? Toxic masculinity sendiri adalah suatu tindakan ekstrim dan mendominasi untuk mendapatkan suatu rasa hormat dari orang lain.[2] Tindakan yang melegalkan adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan baik secara kuasa maupun dalam relasi.
Bentuk-bentuk perilaku toxic masculinity yaitu perilaku yang dianggap merupakan suatu hal yang tabu ketika laki-laki mengeskpresikan emosinya, seperti menangis, galau, bahkan ketika laki-laki ingin curhat. Hal ini karena berlawanannya sikap yang ditunjukkan antara maskulinitas tradisional dan modern, sehingga antara keduanya saling dirugikan. Adanya permasalahan ini membuat laki-laki memiliki rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di dalam dirinya, karena tidak bisa merasa bebas dalam menjalankan suatu hal.
Contoh nyata yang ada di masyarakat, seperti dalam relasi pacaran menjadi tabu jika laki-laki dibayarin oleh perempuan saat sedang jalan atau makan bersama. Sementara itu dalam hubungan suami-istri menjadi tabu jika suami ikut serta mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengurusi anak bahkan ketika suami ingin menyiapkan bekal makanannya sendiri. Padahal hal-hal semacam ini merupakan suatu kewajaran, selama tindak itu tidak merugikan salah satu pihak dan disetujui oleh pihak-pihak tersebut, Why not? Sudah seharusnya antara laki-laki dan perempuan saling mengisi dan membantu terutama dalam relasi suami-istri.
Akibatnya tentu saja menimbulkan banyak persepsi yang baru bagi laki-laki dan perempuan sendiri. Perempuan merasa dikalahkan dan dianggap lemah, perempuan dicap sebagai seorang yang tidak bisa bertahan hidup, serta perempuan dianggap pula tidak bisa seperti laki-laki dalam berperilaku. Sehingga, hal ini juga bisa berdampak kepada laki-laki yang mana dianggap tidak boleh lemah seperti perempuan.
Hal ini bukan saja memberikan dampak negatif bagi perempuan, namun rupanya juga menimbulkan dampak negatif pula bagi laki-laki. Dapat dikatakan bahwa budaya patriarki selain laki-laki menjadi pelaku tapi sekaligus pula menjadi korban. Dampak negatifnya yaitu dapat menimbulkan depresi dan stres, masalah dengan citra tubuh, penggunaan zat atau obat-obatan, pelanggaran aturan di sekolah, masalah akademis, hukuman penjara, melakukan kekerasan domestic dan seksual, bunuh diri, trauma psikologis dan minimnya hubungan sosial yang bermakna.[3]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya patriarki menjadi factor utama yang menyebabkan lahirnya maskulinitas tidka sehat atau toxic masculinity. Untuk mencegah dan mengatasinya yaitu menghapuskan budaya patriarki itu sendiri. Caranya memulai menanamkan kesadaran dalam diri sendiri dan lingkungan sekitar tentang pentingnya kesetaraan gender. Kesetaraan gender akan tercapai jika terjalin kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan untuk sama-sama bersuara dan bergerak bersama menyuarakan keadilan gender.Keadilan gender bukan semata-mata hanya memperjuangkan hak perempuan tetapi juga hak laki-laki itu sendiri.
Comments