Sumber data Badan Pusat Statistika (BPS, Keadaan Angkatan Kerja Indonesia) menunjukkan bahwaserapan tertinggi untuk tenaga kerja perempuan ada pada sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (66,8 persen). Bahkan, dokter pun banyak juga kaum perempuan. Setiap orang yang sakit, apalagi yang terinfeksi Covid-19, tentu akan ke rumah sakit. Di rumah sakit pasien akan diterima oleh perawat yang secara statistik perawat perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Mereka ada di garis depan yang berhadapan langsung dengan pasien sejak di meja pendaftaran sampai ke dokter serta pemeriksaan medis.

pic source : www.tirto.id
"Kita membutuhkan wanita di mana saja, termasuk di tingkat paling atas untuk mengubah dinamika, membentuk dialog, serta memastikan bahwa semua suara wanita didengar dan diperhatikan. Bukan untuk dilewati dan diabaikan." -Sheryl Sandberg
Namun dominasi jumlah perempuan dalam profesi kesehatan tidak langsung bermakna positif dalam perspektif kesetaraan gender, karena jalur karier mereka setelah pendidikan dan kewajiban dinas dipengaruhi oleh tuntutan sosial, termasuk besarnya peran gender, yang mereka hadapi di tengah masyarakat yang patriarkis. Mereka tidak begitu bebas memilih, misalnya, lokasi tempat kerja dan meniti karier di bidang kesehatan untuk masyarakat yang membutuhkan. [1]. Fakta lain ternyata juga berbicara, bahwa para karyawan sangat aware akan masalah perbedaan upah. Mereka tampaknya menyadari betul adanya praktik pembedaan upah karyawan yang diterima di tempat kerja. Survei yang sama juga menyurvei 16.679 orang dewasa dan menemukan bahwa 43% karyawan pria dan 44% karyawan wanita telah menyadari bahwa mereka bekerja di suatu perusahaan yang mempraktikkan pembedaan upah karyawan berdasarkan gender. Either merasa berlebih atau kekurangan, sebanyak 43% karyawan pria dan 47% karyawan wanita mengatakan bahwa mereka menerima perbedaan upah karena jenis kelamin mereka. Beberapa pemilik bahkan juga mengakui, bahwa faktor gender menjadi faktor penentu besaran upah yang mereka bayarkan kepada karyawan. Sekitar sepertiga dari semua pemilik bisnis itu mengaku dengan sengaja membayar gaji rendah berdasarkan gender.[2]
Data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (PDF) mencatat bahwa dalam dunia kerja, perempuan mendapatkan upah yang jauh di bawah rata-rata laki-laki dan memiliki peluang lebih rendah dalam memasuki pasar tenaga kerja. Global Gender Gap Report juga merekam melebarnya kesenjangan upah antar-gender di Indonesia. Perhitungan didasarkan pada paritas daya beli (purchasing power parity). Tercatat pada 2017, estimasi penghasilan yang diperoleh laki-laki sebesar $15.536, sedangkan perempuan hanya $7.632. Padahal, kebijakan anti-diskriminasi upah sudah ada sejak 1950-an, termaktub dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 80 Tahun 1957. Kebijakan tersebut menjelaskan istilah pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya merujuk kepada nilai pengupahan yang diadakan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Sepanjang 12 tahun terakhir, ada peningkatan skor yang signifikan dalam variabel professional and technical workers: 0,72 pada 2006 dan naik menjadi 0,97 pada 2017. Artinya, perempuan Indonesia yang bekerja dalam peran profesional dan teknis semakin banyak. Sementara variabel yang mengalami penurunan adalah estimasi pendapatan yang diterima, yaitu jumlah penghasilan yang diterima perempuan dan laki-laki secara keseluruhan. Skor sempat menurun tajam di 2007, dari skor sebelumnya sebesar 0,52 menjadi 0,45. Namun, skor kembali naik di 2014 menjadi 0,50. Penurunan signifikan ada pada variabel wage equality for similar work. Skor terus turun dari 0,84 di 2007 menjadi 0,71 di 2017. Selaras dengan data BPS, skor menunjukkan bahwa upah antar-gender untuk pekerjaan serupa di Indonesia semakin tidak setara.[3]
Beberapa perbedaan upah atau kesenjangan upah muncul ketika individu dibayar secara diskriminatif. Diskriminasi tersebut dapat berakar pada ras, jenis kelamin, agama atau hanya merupakan subjektifitas dari atasan. Kesenjangan upah juga dapat terjadi sebagai bentuk konsekuensi dari aplikasi deskripsi kerja, pengelompokan upah dan pekerjaan yang cenderung terlalu santai. Untuk mengukur kesenjangan upah, penting untuk mengetahui deskripsi kerja yang mana yang digunakan untuk mengelompokkan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Kesenjangan upah dapat tumbuh karena serangkaian pilihan individu dalam menghadapi dan membuat keputusan dalam kehidupan kerja mereka, seperti :
Pendidikan
Pekerjaan, profesi atau perdagangan
Sektor
Perusahaan besar atau kecil
Bekerja paruh waktu atau fulltime
Pelatihan tambahan pada pekerjaan.
Berkaitan dengan hal ini, "The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in Asia Pacific", lansiran McKinsey Global Institute, menyatakan bahwa Indonesia punya tiga peluang yang berpengaruh signifikan. Pertama, meningkatkan jumlah perempuan dalam posisi kepemimpinan dalam bisnis. Kedua, meningkatkan perlindungan hukum bagi perempuan, seperti kebijakan terkait pelecehan seksual dan cuti hamil. Ketiga, mempercepat kemajuan pada partisipasi angkatan kerja. Selain itu, bisa dilakukan juga penambahan infrastruktur dan peningkatan penggunaan teknologi digital yang lebih luas--khususnya terkait keterampilan digital dan kewirausahaan. Pada dasarnya, bila dilihat dari segi jumlah penduduk, perempuan adalah aset pembangunan yang penting dan mendasar. Jumlahnya mencapai separuh dari penduduk Indonesia. Artinya, kegagalan untuk mewujudkan potensi separuh penduduk adalah kerugian bagi pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, membenahi persoalan gender dalam dunia kerja mempunyai dua aras. Pertama-tama adalah demi pemenuhan hak asasi perempuan sebagai manusia, sekaligus sebagai cara mengatasi masalah efisiensi dalam pembangunan.[4]. Pengusaha setidaknya dapat memberikan transparansi upah dan memperhatikan peluang promosi yang adil bagi laki-laki dan perempuan. Pengusaha juga dapat memfasilitasi bagi pekerja perempuan khususnya untuk menyeimbangkan kerja dan kehidupan keluarga, terutama ketika anak-anak masih kecil. Sebagai contoh, menawarkan pengaturan jam kerja yang fleksibel. Pengusaha dapat mencegah PHK pekerja perempuan yang hamil dan menciptakan kondisi kerja yang aman dan sehat bagi pekerja perempuan yang hamil. Pengusaha juga dapat memonitor skala upah laki-laki dan perempuan, mencoba untuk menghindari kesenjangan upah berdasarkan gender. Pengusaha dapat membuat perjanjian kerja bersama yang terbuka untuk jam kerja yang fleksibel dan kesempatan kerja saat ini dan di masa depan. [5]
"Kita membutuhkan wanita di mana saja, termasuk di tingkat paling atas untuk mengubah dinamika, membentuk dialog, serta memastikan bahwa semua suara wanita didengar dan diperhatikan. Bukan untuk dilewati dan diabaikan." -Sheryl Sandberg
@lidianatasyaa @yunda.annisa @milkaginting
Comments